Kata ‘pernah menjadi’ bukan berarti kalau saat ini saya sudah menjadi pendaki profesional, big wrong indeed!
Kalimat itu melainkan sebagai artian saya telah teramat sadar bahwa 2012 lalu, saya pernah meremehkan gunung bahkan nyawa saya sendiri.
Lalu bagaimana sekarang?
Sekarang saya takut dengan gunung, setelah banyak kasus kematian yang banyak disebabkan oleh pendakinya sendiri.
Sunrise, salah satu alasan banyak pihak untuk mendaki termasuk saya
Ketika tahun 2012 lalu ajakan Mendaki Papandayan di Garut dari seorang teman langsung saya iyakan, alasannya sederhana “Karna mau liat sunrise”.
Sekilas membaca dari internetpun gunung ini salah satu rekomendasi terbaik untuk para pendaki pemula.
Karena berfikir tidak ada hal lain yang perlu dikhawatirkan sayapun berangkat bersama tiga kerabat lainnya.
Firasat buruk sudah muncul, ketika bus menuju terminal Garut yang kami tunggangi mogok hampir 2 jam, ditambah macet di perjalanan membuat kami baru tiba di pintu masuk gunung pukul enam sore.
Sudah tidak ada rombongan yang terlihat siap naik, hanya ada kami berempat yang bingung ingin segera mendaki atau di tunda esok pagi harinya.
Kami sempat berkonsultasi dengan 2 orang bapak paruh baya apakah berbahaya jika mendaki di malam hari (pertanyaan bodoh), tapi karena mungkin beliau-beliau sudah hafal dengan gunung ini dan menjawab enteng kami menjadi tidak cemas.
“Cuma dua jam nyampe pondok salada kok” kemudian bulatlah tekad kami, dengan mempersiapkan 2 lampu anti badai serta 2 buah senter dan berdoa, segera kami mendaki tanpa ada seorangpun yang pernah ke gunung ini sebelumnya.
20 menit berjalan kami masih menemukan beberapa rombongan pendaki yang berniat turun, sehingga masih bisa bertanya jalur mana yang harus dilewati.
Kemudian 1 jam pertama kami hanya mengandalkan jejak sepatu ditanah dan beberapa patok yang di buat pendaki lain namun keraguan muncul ketika trek semakin terjal, saya jelas membaca bahwa jalur menuju pondok salada nyaris semua landai, ini terlalu curam.
Kami terus berusaha fokus, terus mengobrol supaya tidak kehilangan satu sama-lain sambil mencari petunjuk sebisa kami.
Petunjuk dari Yang Maha Baik akhirnya muncul, ada letusan kembang api di langit bertubi-tubi justru dari arah timur kami itu jelas pasti letak pondok salada kamipun segera memutar arah.
Pertolongan Tuhanlah yang membawa saya ke tempat ini.
Baca Juga : Camping Seru di Situ Gunung
Sudah 3 jam kami berjalan dengan menjaga bulan tetap disebelah kiri kami, tapi tanda-tanda keberadaan pondok salada sepertinya lenyap.
Tentu saja, jarak pandang yang hanya 2 meter dan bantuan cahaya bulan tidak cukup untuk menembus kegelapan yang pekat kala itu.
Kami tidak mungkin mengharap lagi letusan kembang api dilangit, dengan dingin yang semakin menusuk saya hanya terus memanjatkan doa kepada Sang Khalik.
Waktu sudah hampir tengah malam, sudah lima jam kami berjalan, sudah berbotol-botol air kami minum serta berkali-kali mencoba beristirahat.
Suara anjing hutan melolong semakin dekat, sebelum benar-benar putus asa muncul suara nyaring motor yang mendekat berharap kami bisa mendapatkan petunjuk.
“Pondok Salada? Waaa udah kelewat jauuuh, dua jam lagi kalo jalan kaki.. ini sih arah ke Pengalengan” JEGEER!!!
Bagai dihisap inti bumi, tenaga saya di serap habis mendengar kabar tersebut.
Dengan meneguhkan hati kamipun berterima kasih setelah mendapatkan ciri-ciri petunjuk yang telah kami ketahui.
Tak lama kami berjalan kembali terdengar suara motor trail dari arah yang berlawanan, ternyata pemuda yang tadi dan kali ini ada 2 motor, yang satu motor ada 2 orang pemuda.
Mereka berhenti, dan dengan segan memberitahu bahwa mereka mau mengantar karna kasihan melihat dua orang perempuan ditengah hutan-tengah malam-malam jum’at- (Tragis kan men?)
Curiga tentu wajar bukan?
ini tengah hutan! tapi mereka bertiga sepertinya mencium kecurigaan kami.
“Kalau adek2 takut, yang berangkat 1 cowok 1 cewek jadi ada yang jagain, nah yang cowok pertama bawa tenda.. nanti saya balik lagi buat jemput kalian, pas kalian nyampe kn tenda sudah jadi. gimana?” (menunjuk saya dan 1 teman lelaki).
Dengan putus asa dan bismillah akhirnya kami menerima pertolongannya, saya dan 1 teman mendapat giliran kedua setelah mereka mengantar 2 teman terlebih dahulu, kamipun berjalan ditemani satu pemuda yang juga teman sang pengendara trail.
Ujang namanya seingat saya, banyak obrolan yang tercipta dan ajaibnya rasa capek saya hilang dan ketika 2 motor itu kembali dan mengangkut kami Ujang yang hanya berjalan kaki sendirian seharusnya tertinggal jauh di belakang justru tiba secara bersamaan dengan kami di pondok salada.
Entah kami hanya melonggo dan tak henti-henti mengucap terimakasih, meskipun diatas motor saya sempat berfikir akan di rampok dan di buang ke jurang *maaf ya Allah*
Saat saya hendak memberikan ‘upah’ atas pertolongannya tanpa diduga mereka menolak, mereka bilang hanya kasihan..
Kebetulan pekerjaannya memang mengecek pipa-pipa air yang mengalir ke penduduk *pengabdian yang mulia sekali ;(((
Tapi saya tidak menyerah, saya memaksa memasukkan uang yang tidak seberapa tsb ke kantung jaket mang Ujang “terimakasiiiiih mang!!”
– Hingga saat ini saya masih belum yakin, mereka itu manusia atau bukan, lebih yakin jelmaan pertolongan dari Tuhan untuk kami.
Hutan Mati, salah satu spot yang wajib dikunjungi di Gunung Papandayan
Selain pengalaman akibat pengetahuan yang nol besar diatas, masih ada beberapa kesalahan fatal yang saya buat.
Seperti :
- Tidak membawa sleepingbag, finally saya menggigil luar biasa.. benar kata mang Ujang papandayan dinginnya itu mematikan. Syukurlah saya masih bisa berbagi yaitu dengan tidur 1 sleepingbag (anaknya kurus2, hehe)
- Menggunakan celana jeans, namanya juga amatiran manalah saya tahu bahwa bahan jeans itu tidak boleh digunakan mendaki karna menyerap dingin dan sulit kering ketika basah, plus berat.
- Mengunakan sepatu yang salah tempat, sepatu yang saya gunakan jelas salah tempat karna permukannya yang licin membuat saya berkali-kali terjun dijalan yang agak terjal. *jangan di tiru yahh 🙁
Jeans dan sepatu yang menjengkelkan.
Baca Juga : Teman Baru Di Pulau Pramuka
Sudah cukup saya menjabar pengalaman bertaruh nyawa akibat kebodohan yang saya buat sendiri, tulisan ini hanya sekedar mengingatkan bahwa gunung bukanlah tempat yang tepat untuk ‘asal’ berexplore.
Serendah apapun ketinggiannya, mereka tetap ingin dihargai dengan meletakkannya di tujuan yang ‘Serius’ bagi setiap pribadi.
Pernah nonton Vertical Limit?? bahkan pendaki kelas dewa pun masih bisa menutup usianya di atas sana.
Saya tidak akan kembali mendaki sebelum benar-benar siap satu ribu persen!
haha, mengetahui kesalahan sendiri dan mengevaluasinya adalah langkah untuk menjadi lebih pintar.
jangan takut untuk naik lagi kak, pengalaman ada untuk dipelajari
brati laen kali kalo melakukan pendakian, harus lebih siap
hehehe, nice share kak..
Takut untuk naik lagi sih nggak, pengen banget rinjani sebenernya tapi mau melatih ketahanan fisik dulu sama ngatur nafas. ;')
semoga saya tidak lagi menjadi pendaki yang 'Hina' ya kak?hahaa
*makasih rela mampir ;D
Innalillahi, Masha Allah….
Betulah banyak pendaki pemula ini yang melakukan kesalahan sendiri. Alhamdulilah, Putri masih berusia panjang, Allah masih melindungi kalian.
Iyaa ka anas, syukur banget heehe
tapi seneng dapet pengalaman hebat, jadi bisa belajar ;D
seneng juga di komenin sama blogger senior, muacch :*
*sering-sering ya ka :p
untung saya belum pernah nanjak haha tp pengin nanjak rinjani..ihir
Wah kalau rinjani harus banyak-banyak latian dulu tuh kak, hehehe
naiz info, gue belum pernah naik gunung juga soalnya
cobain dong mas, tapi gausah sering yaa kasihan gunungnya udah capek kebanyakan 'fans' hehe
mang ujang baik, g jg prnah ditolong pas kesasar
hehehe
dalam situasi buruk manusia memang cenderung untuk selalu berpikir negatif,, nice share buat evaluasi diri..
iyaph, setuju! Thanks udah mampur 🙂
Naik Gunung pun style nya tetap kece yah. hahhaha
Wahahahaha iya itukan naiknya dulu banget pas masih Abege kak Akbar :p
Hah iyakaaah?! Yaampun… Semoga mang Ujang banyak rizkinya karna banyak membantu yaa! Amin :))