Tertambat Hati di Desa Sawarna! Bertemu dengan banyak kebaikan disebuah perjalanan di Pulau Pramuka membuat kami rindu untuk kembali traveling.

Seperti mendapat miracle, akhirnya kami berkesempatan dan mantap untuk berangkat ke tujuan yang slama ini di idam-idamkan yakni SAWARNA!

Liburan kuliah, dan cuti kerja saya dan tikapun lancar.

Dikarenakan saat itu saya tugas malam dan baru kembali jam 7 pagi, terpaksa kami baru bisa berangkat sekitar jam 10 siang.

Dari info yang kami dapat di internet bus Damri dari serang ke arah terminal Bayah hanya ada di jam 5 pagi saja tiap harinya.

Kamipun harus mencari akses lain dengan menggunakan patas menuju Sukabumi, perjalanan begitu macet sampai jarak tempuh hampir 5 jam yang seharusnya hanya 3 jam.

Kami turun di Cibadak untuk menjamak shalat zuhur dan ashar, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Ratu.

Supir dan kernet bus sepertinya memperhatikan wajah-wajah asing kami, mereka bertanya tujuan kami karena khawatir dengan langit yang sudah gelap.

Dan sayangnya mereka memberi kabar buruk, bahwa angkutan yang menuju terminal Bayah terakhir ada tadi jam 5 sore. Orang Indonesia itu memang ramah-ramah ya!

Adek-adek disini itu banyak ojek yang nakal-nakal, kalo mau tidur di bus saya ini gak papa, mobil ke Bayah kan aya lagi subuh. Tapi yaa kalo adek takut, lapor saja sama polsek untuk numpang menginap semalam, lebih aman.

Begitu saran bapak supir baik yang kami tidak tau namanya.

Kamipun memutuskan untuk ke Polsek terdekat, setelah banyak-banyak terimakasih kamipun turun di pemberhentian terakhir, terminal Pelabuhan Ratu.

Ternyata Polseknya tidak jauh dari terminal, ada seorang bapak polisi paruh baya yang sedang berdiri didepan pintu.

Kami menyapa bersamaan..

Permisi paaaa …” ”Iya… kenapa dek ??”

Sahut si bapak ramah “Ummmn, mau curhat paaaa…

Jawab Sarah spontan “Ooohh ,mari-mari nakk….. silahkan sambil duduk di dalam” Ah begitu baiknya ;’))

Tertambat Hati di Desa Sawarna

Bersiaplah jatuh cinta pada desa ini

Ada lagi satu bapak polisi di dalam, kami berlima mengobrol dan bercerita asal dan tujuan kami serta menyampaikan maksud dan tujuan datang ke kantor mereka.

Tidak diduga-duga mereka tanpa rasa keberatan memberikan ruangan yang lebih dari kata ‘layak, padahal diijinkan di musholahnya pun kami tidak masalah.

Tapi kami malah diberi ruangan yang bisa digelar karpet, di dalamnya ada 2 komputer di meja juga ada sofa dan kipas, bebas ke kamar mandi dan mengabil air minum di dispenser bahkan si bapak menawarkan “Kalo mau internetan dipake ajah itu kompeternya.”

Subhanallah, berhati apa si Bapak-bapak ini, apa mereka tidak curiga kami mencuri atau apa?

BACA JUGA :  Menyerbu Sunset Bar Gili Trawangan

Belum ada hitungan jam mereka sudah begitu percaya dan luarbiasa baik dengan kami.

Kami pamit untuk keluar sebentar cari makan, dan di jalan bertemu bapak polisi yang separuh baya tadi.

Mau kemana nak? jangan jauh-jauh perginya yaa ini saya habis beli jeruk, ambil kalau mau” Kata si bapak sambil menyodorkan kantung plastik hitam.

Kami hanya berucap tidak dan terimakasih juga memberi tahu ingin mencari makan sebentar.

Saat kembali, 2 ayah baru kita (bapak polisi) itu sudah tidur terlelap di kursi panjang di lobi kantor, kami jadi merasa haru melihatnya.

Kamipun bergegas untuk istirahat karena harus berangkat subuh.

Pagi-pagi sekali sebelum pamit, kami tidak menemukan 2 bapak baik hati yang semalam, ternyata mereka tugas malam dan pulang sekitar jam 3 pagi, menyesal sekali karena tidak banyak mengucap terimakasih pada mereka.

Kami hanya menitip salam dan pamit pada driver yang semalam juga terlihat di kantor.

Bertemu mereka membuat pandangan negatif saya dengan polisi berubah, mereka tidak sama sekali seburuk citranya yang ada.

Mereka pejuang bangsa ini juga, pelindung masyarakat, terimakasih banyak Bapak Polisi baik ;’)

Akhirnya kami duduk di angkutan terakhir yang menuju Bayah, setelah itu kami harus lagi naik ojek untuk ke pantai Sawarna, pokoknya kami merasa Sawarna sudah dekat.

Di dalam angkutan elf ada ibu paruh baya yang spontan saja bertanya kami mau kemana, ”atuh rumah saya di Sawarna dek, baru pertama yah? Yauda ikut saya saja, takutnya kalian diboongin sama ojeg di sana.

Alhamdulillah petunjuk Allah begitu nyata, akhirnyapun kami banyak-banyak bertanya dengan ibu yang minta dipanggil teteh Sutarsih ini, teteh malah menawarkan untuk kami menginap di rumahnya, sebelumnya kami agak ragu.

Kami fikir mungkin teteh memang mempunyai resort atau homestay untuk disewakan di Sawarna, kamipun memutuskan untuk ikut dulu dan jika memang ada homestay dan takut diberi harga yang mahal, kami bisa pamit dan mencari yang lebih murah. heheheee!

Turun dari angkutan, kamipun naik ojek menuju rumah teteh Sutarsih.

Di angkutan teteh memberi pesan ”Kalo ditanya orang kampung bilang aja keponakannya teteh dari pelabuhan kitunyaa, nanti bayar ojegnya 15ribu ajah.

Ojegnya teh suka jail, teteh maah kasian soalnya inget anak gadis teteh yang seumuran kalian.” 

Lagi-lagi dikirim Tuhan orang baik, ooh sungguh bahagianya. Dan benar saja, si teteh menawar habis-habisan harga ojek yang kami tahu di internet itu seharga 50 ribu menjadi hanya 15 ribu saja.

Ojek berhenti di Desa Cihasem, tapi pantai Sawarna sudah terlihat jelas.

Alhamdulillah ya Rabb, kami akhirnya sampaiii …….

Teteh mengajak kami berjalan menuju rumahnya, jalannya agak menanjak dan lumayan terjal.

BACA JUGA :  Merak Kecil Manis !

Banyak warga yang memperhatikan kedatangan kami, rumah mereka semua serupa hanya berupa gubuk kecil yang atapnya masih menggunakan jerami.

Ini benar-benar seperti desa pelosok yang jauh dari perkembangan modernisasi jaman.

Ada tetangga-tetangga yang bertanya pada teteh dengan bahasa sunda, yang saya tangkap saat itu artinya “itu anak-anaknya siapa? dari mana?” dan teteh hanya menjawab “keponakan dari kota, mau main ke pantai ceunah.” 

Dan air mulai menggenang di pelupuk mata saya, ah mungkin Sarah dan Tikapu sama.

Kami salah sangka, sudah begitu berburuk sangka dengan teteh yang mengira mengharapkan untung untuk menginap di homestay yang tidak pernah beliau punya.

Teh Sutarsih hanya memiliki rumah yang maaf mungkin hanya pantas disebut gubuk kecil, atapnya sama menggunakan jerami, hanya ada 2 kamar tanpa lampu, dindingnya pun hanya bilik bambu, yaa apapun itu.. tapi pemiliknya berhati begitu mulia.

Baca Juga : Weekend Getaway to Lampung

Tertambat Hati di Desa Sawarna

Subhanallah .. Saat kami tiba, dua anak kecil usia 5 dan 8 tahun berhamburan ke arah teteh sambil berteriak “Mamaa!” yang kecil namanya Iyan dan kakanya Imel.

Kemudian teteh memperkenalkan ayah dan ibunya yang ternyata rumahnya hanya beberapa meter dari rumah teteh, kami disuruh memanggilnya Abah dan Nenek, teteh benar mempunyai anak gadis namanya Mia, ada juga uwa Uju (kakaknya teteh), teh Weda (adiknya teteh), Kang Ewon (suami teh weda), dan si kecil Mirna (anak teh Weda).

Dua rumah itu kecil tapi begitu hangat, kami berkali-kali bertanya dengan teh Sutarsih, apa kami benar-benar boleh menginap di rumahnya, karena hanya ada 2 kamar di dalamnya.

Tapi teteh dengan ramahnya selalu menjawab. “Atuh boleh, kenapa gak boleh? Tapi ya maap cuma gubuk, seadanya aja ya.. Mia kan bisa tidur di rumah si Nenek ”Tak mau lagi berprasangka buruk, kami lebih memilih untuk mensyukuri pertemuan kami dengan teteh yang bukanlah hanya sekedar kebetulan, tapi rencana Allah ;’)

Siang itu kami ingin langsung main kepantai dan Mia bersedia jadi guide kami.

Untuk kepantai lumayan jauh, kami harus berjakan sekitar 15 menit.

Sarah sudah siap dengan kamera SLRnya, tripod pun tak lupa untuk kami bawa, saat dijalan menuju pantai kami bertemu 4 anak laki-laki yang sedang asik bermain di kebun, kami iseng mengajak mereka untuk main bareng ke tanjung layar.

Baca Juga : Itinerary Kul – Hatyai – Penang – Melaka Dalam 5 Hari

Saat ditanya, mereka hanya tertawa dan malu-malu tapi setelah kami tinggal berjalan beberapa meter mereka kembali memanggil “Teh ,ikut teeeh …” Hahahaa dasar anak-anak.

Sepertinya mereka penasaran dengan kamera yang sarah bawa, mungkin masih terlihat begitu asing untuk mereka.

BACA JUGA :  #LiburanDiYogya : Di Gumuk Pasir Parangkusumo Main Sandboarding Itu Harus

Itu liburan paling sempurna buat saya, pantai yang indah, orang-orang yang ramah seperti ada di planet lain.

Banyak yang saya renungkan, kesederhanaan masih begitu melekat disini, seperti Ewang, Edis, Yana, Nendi yang suka riang bermain bersama kami tanpa sandal.

Seperti Kakek yang dengan senyum bahagianya memberi kami buah Asem yang ternyata enak dijadikan permen, semua ini hanya beberapa kilometer dari Jakarta, oooh life.

Kami bermain dari pantai Sawarna, Pasir Putih dan Tanjung Layar, berlari-larian dan berfoto ria.

Saat Matahari tenggelam dengan anggun kami kembali pulang.

Saat pulang anak-anak bertanya kami menginap dimana, ternyata mereka tau rumahnya teteh mia dan malam nanti ingin main menemani kami lagi.

Di perjalanan pulang kami banyak mengobrol dengan Mia, pertanyaan umum seperti Mia sekarang kelas berapa mendapat jawaban yang buat kami bertiga membisu.

Mia umurnya 16 tahun, tapi tidak pernah sekolah dia juga sudah mempunyai suami, tapi katanya suaminya juga punya istri lagi yang menjadi TKW jadi mia itu istri muda.

Mia pernah hamil tapi tapi sayang sekali keguguran sebelum lahir.  Mia begitu santai menceritakan kisah hidupnya dengan kami bertiga.

Mia pernah kerja teh jadi pembantu, 3 kali tapi gak pernah dibayar.. untung mia masih bisa pulang hahaaa “Mia masih saja bisa tertawa menceritakan hal sepahit itu, umurnya masih 16 semoga Allah selalu menguatkannya.

Baca Juga : Bukit Rhema dan Gereja Ayam Misteriusnya

Tertambat Hati di Desa Sawarna

Malamnya anak-anak benar kembali mampir, mereka membantu kami membersihkan tripod dari pasir.

Bahagia rasanya melihat mereka seru dan tertawa melihat hasil jepretan-jempretan lucu sore tadi.

Kami rasanya ingin banyak memberikan mereka sesuatu, Teteh, Mia, Anak-anak.. bingung membeli apa akhirnya kami memberi sedikit uang ke kang Ewon untuk dibelikan bakso supaya bisa dimakan ramai-ramai, sebelumnya mau ice cream tapi katanya indomaret hanya ada di terminal bayah.

Desa Cihasem sawarna, rumah dan keluarga baru kami.. kami tidak pernah tahu rasanya punya kampung dan sekarang kami punya.

Sedih rasanya untuk berpisah, tapi kesederhanaan mereka akan tetap terus melekat dihati kami.

Ingat mereka adalah cara saya untuk bersyukur, mensyukuri nikmat dari Tuhan yang telah saya genggam, nikmat memiliki Negeri Indonesia yang begitu banyak diisi oleh orang-orang super baik.

Wajah Indonesia bukan Jakarta, bukan Politik, bukan Koruptor.. mencintai negeri ini hanya butuh kaki yang mau sedikit banyak melangkah, saya bersyukur karna telah menemukan ‘wajah’ lain Indonesia yang dimaksud para traveler.

Karena kebaikan dinegeri ini tidak mengenal nama, suku atau adat “hanya bermodalkan sama-sama anak bangsa“.

Satu hal yang saya yakin, Mencintai Indonesia sesederhana kata S-E-D-E-R-H-A-N-A!

You may also like

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *